Jumat, 05 April 2013
Selasa, 14 Agustus 2012
Bicara Saja
Perlu dan penting kah yang akan anda ucapkan? segala sesuatu yang meluncur dari mulut bisa jadi anugerah, tapi juga bisa jadi bumerang di hari lain, seperti ungkapan mulutmu harimau mu!! singkat sih, tapi mengena dan mengingatkan kita untuk menjaga perkataan. Apabila yang anda katakan hanya untuk kesenangan pribadi, mengejek, mengolok, membicarakan keburukan orang, dimana letak pentingnya? perlu mungkin dari view anda pribadi karena biasanya orang yang kelewat hobi bicara akan "pinter ngomong" bukan "ngomong pinter" seakan anda ini paling benar sejagad dan biasanya disertai bumbu "ngeyel" dengan seabreg alasan yang lagi - lagi pribadi. Lain cerita apabila perkataan kita mengandung manfaat untuk orang lain, misalnya informasi kemacetan di jalan xxx supaya pengendara menghindari jalan itu. Jadi, pikir - pikir dulu lah sebelum bicara. Sebuah ungkapan kuno tapi di berbagai situasi bisa digunakan "diam adalah emas", ada waktu tertentu memang lebih baik kita diam daripada yang kita katakan menyakiti/menyinggung orang lain (bukan berarti berbohong itu lebih baik daripada kejujuran), jika tidak bermanfaat untuk umum buat apa bicara hal tidak penting. Penting juga sebagai catatan, mengemukakan ide maupun pendapat itu hal penting, dan dalam case satu ini, bicara itu sebuah keharusan karena disitulah letak eksistensi diri manusia, pengakuan ide dan kreatifitas perlu diutarakan.
Selasa, 02 November 2010
Program Studi Politik Islam
saya sendiri mahasiswa Politik Islam (PI) angkatan ke-2, jangan salah sangka dulu jika beranggapan kuliah di IAIN itu kuliah tentang agama melulu, saya akan bilang tidak benar karena kita juga akan belajar realita sekitar kita. bagi saya Politik Islam mengajari realita sosial, dibantu dengan dosen yang masih muda, enerjik, berpengalaman dan ada yang praktisi politik akan mempermudah proses belajar. Tambahan informasi, bagi lulusan SMA Negeri bisa mendaftar juga.
yang ingin mengetahui program studi Politik Islam bisa melihat dan membaca langsung melalui link di bawah. Semoga bermanfaat...
http://ush.sunan-ampel.ac.id/?page_id=43
Sabtu, 20 Februari 2010
simbiose agama dan politik
Surbakti Ramlan, (1992). Memahami Ilmu Politik,
Minggu, 23 Agustus 2009
Indonesia dan Malaysia..lagi????
Indonesia benar-benar kaya, namun sayang pematenan (baca : hak paten) untuk kesenian asli Indonesia yang beragam belum dapat dilakukan. Beribu pulau ada di Indonesia, singkat kata semua ada di sini, gemah ripah loh jinawi...
nah lho...bagaimana aksi pemerintah dalam menanggapi hal ini terutama Presiden terpilih baru saja melakukan pidato. apakah perlu hak paten kesenian dimasukkan dalam perda atau bahkan undang-undang...will see...
Senin, 11 Mei 2009
Dia laki-laki
tidak ada yang kekal, bahkan perasaan manusia, satu jam yang lalu bilang cinta, semenit kemudian berkata kasar, mencaci bahkan meninggalkan luka. aku berdoa itu bukan dia, tidak pernah ada dalam benaknya. dia segalanya...segalanya yang diberikan Tuhan untukku, memberiku kesempatan untuk bahagia dan aku berdoa kebahagiaan ini tidak akan direnggut lagi dariku.
wow..........amazing words
Relasi antara Birokrasi dengan Elemen
A. Birokrasi Ideal
Birokrasi berasal dari bahasa Prancis bureau, berarti kantor. Konsep birokrasi mengaplikasikan prinsip-prinsip sistem keorganisasian yang dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi dan administrasi dalam sekup organisasi yang lebih besar dalam tatanan pemerintahan,Biasanya masalah administrasi yang kompleks serta ruwet terdapat dalam organisasi berskala besar, sebagai struktur organisasi diartikan sebagai bagian-bagian organisasi yang bukan karakteristis dari para anggotanya. Terutama bagian-bagian distribusi kedudukan social dalam organisasi . begitu pula dengan hirarki wewenang dalam sebuah organisasi , ini pun tidak mencerminkan cirri-ciri perorangan. Seseorang mempunyai jabatan dan pangkat dalam suatu hirarki akan tetap hanya pola hubungan di antara pekerjaan atau pangkat yang menyebabkan adanya pembagian kerja atau hirarki wewenang. Aturan-aturan dan peraturan-peraturan birokrasi bukan bagian dari status struktur, tetapi merupakan bagian dari organisasi, Menurut Weber ;birokrasi dan institusi lainnya dapat dilihat sebagai kehidupan kerja yang rutin (of workday life).[1]
Peranan birokrasi secara umum dikemukakan oleh Michalen G.Roskin dan kawan-kawan mempunyai fungsi yang meliputi kegiatan-kegiatan pengadminisrasian, pelayanan, peraturan, perizinan, pengumpulan, informasi, dan urusan rumah tangga. Seluruh birokrat pemerintah dan elemen politik menjalankan setidaknya menjalankan dari dua fungsi dasar tersebut, dengan sebagian bekerja secara khusus pada biro tertentu, dan sebagian lagi menjalankan fungsi ganda, sehingga memungkinkan untuk mempekerjakan ahli yang terspesialisasikan di tiap posisi dan menyebabkan tiap unsur sistem/orang bertanggung jawab terhadap kinerja yang efektif atas tugas-tugasnya. Organisasi yang hierarkis, berarti organisasi kantor mengikuti prinsip hierarki sehingga tiap unit yang lebih rendah berada dalam pengendalian serta pengawasan organisasi yang lebih tinggi. Ada sistem aturan, operasi dilaksanakan berdasarkan sistem aturan yang ditaati secara konsisten. Kemudian, impersonality. Idealnya pegawai bekerja dengan semangat kerja tinggi, tanpa rasa benci terhadap pekerjaannya atau terlalu berambisi. Ada struktur karier, terdapat suatu sistem promosi yang didasarkan pada senioritas atau prestasi, atau kedua-duanya. Karyawan dalam bentuk organisasi birokratik didasarkan pada kualifikasi teknik dan dilindungi dari penolakan sepihak. Kebijakan presonal seperti itu mendorong tumbuhnya loyalitas terhadap organisasi maupun semangat dalam kelompok di antara anggota organisasi. Terakhir, efisiensi.
B. Sistem Politik
Menurut David Easton, sistem politik adalah bagian dari sistem sosial yang menjalankan:
1. alokasi nilai-nilai (dalam bentuk keputusan dan kebijakan)
2. yang bersifat otoritatif (dikuatkan oleh kekuasaan yang sah)
3. mengikat seluruh masyarakat (dalam masyarakat modern, otoritas atau kekuasaan yang sah dan memiliki wewenang yang sah untuk menggunakan kekuatan koersif adalah negara).
Sistem politik yang dianut Indonesia adalah Demokrasi Presidensial/terpimpin dengan karakternya tersendiri. Siapa presiden yang memerintah maupun kebijakan yang dibuat serta varian lain turut berpengaruh terhadap eksistensi birokrasi di dalamnya. Mengutip Afan Gaffar (1999) mengemukakan kondisi-kondisi dasar suatu sistem politik disebut demokratis apabila:
1. adanya akuntabilitas pemegang kekuasaan (kekuasaan dapat dikontrol)
2. adanya rotasi kekuasaan
3. rekrutmen politik yang terbuka
4. pemilihan umum yang teratur dan fair
5. adanya jaminan pemenuhan hak-hak dasar warga negara (hak menyatakan pendapat, hak berkumpul dan berserikat, hak menikmati pers yang bebas)
C. Perjalanan birokrasi dari waktu ke waktu
Sejak awal kemerdekaan hingga saat ini birokrasi mengalami banyak perubahan sesuai pemerintahan yang berjalan. Masa awal kemerdekaan biasa disebut dengan orde lama yang dipimpin Soekarno, masa ini lebih banyak mengarah pada ”executive heavy” (UU No.5/74) disusul dengan adanya supersemar yang akhirnya ditandai dengan bergantinya presiden sekaligus menjadi masa Orde Baru yang dipimpin Soeharto selama 32 tahun yang terdapat ”legislative heavy” (UU No.22/99). Hingga berakhirnya rezim Soeharto pada 1998 sebagai penanda dimulainya babak baru perjalanan birokrasi dalam era reformasi.
Pembangunan yang bercorak birokratik teknokratik adalah model yang dipilih oleh orde baru.[2] Dalam era ini birokrasi dimanfaatkan untuk menjalankan pembangunan, hal yang menjadi penting pada era ini adalah bagaimana keahlian praktis untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi secara cepat. Terdapat tiga bentuk kebijakan birokratisasi untuk menggambarkan periodesasi pemerintahan di Indonesia dengan varian tertantu, yaitu :
1. Weberisasi birokratisasi bisa dikatakan sebagai birokrasi ala Weberian yang merupakan penggagas birokrasi modern. Bentuk ini menitikberatkan pada penunjukan kebijakan untuk memfungsikan birokrasi yang memenuhi kriteria birokrasi ideal, yaitu efisien, rasional, profesional, dan orientasi public service.
2. Parkinsonisasi birokratisasi dengan komponen utamanya memperbesar kuantitatif birokrasi untuk meningkatkan kapabilitas sebagai alat pembangunan. Hal tersebut dilakukan untuk mengatasi persoalan pembangunan yang menumpuk – pengangguran.
3. Orwellisasi birokratisasi yaitu mengefektifkan birokrasi sebagai alat perpanjangan tangan negara dalam menjalankan kontrol birokratis terhadap masyarakat.
Pengkhususan untuk kasus yang ada di Indonesia adalah Jacksonisasi birokatisasi yaitu upaya menjadikan birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan negara dan menyingkirkan masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan sehingga terbentuk apa yang disebut oleh Karl D Jackson (1980) sebagai bureaucratic policy.
D. Birokrasi dan Infrastruktur Politik
Dalam beberapa waktu birokrasi menjadi suatu kekuatan penggerak pembangunan dalam Orde Baru, sehingga birokrasi taklebihnya sebagai ”suruhan”pemerintah untuk mengesahkan kepentingan pemerintah saat itu. Sehingga birokrasi memiliki citra lamban, bertele-tele, in-efisien, kurang profesional, dan menyisihkan kepentingan masyarakat. Image yang melekat inilah yang sampai hari ini dirasakan masyarakat. Pemerintah (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif) sebagai lembaga yang memiliki otoritas politik tidak mampu menghilangkan asumsi tersebut. Malahan dalam beberapa kasus keduanya (pemerintah dan birokrasi terlibat dalam beberapa kasus penyalahgunaan wewenang). Kebijakan desentralisasi pun tidak mengurangi anggapan lambannya kerja birokrasi, malahan penggelembungan semakin meningkat, hal ini dilakukan untuk mengatasi salah satu masalah di Indonesia, yaitu pengangguran. Bahkan korupsi yang awalnya marak di tingkat pusat malah menjadi seiring berjalannya kebijakan desentralisasi.
E. Birokrasi dan Suprastruktur Politik
Salah satu ciri dari negara yang menggunakan sistem demokrasi adalah berfungsinya civil society di dalamnya. Fungsi dari civil society adalah sebagai pertama sebagai Balancing forces: kekuatan pengimbang dari kecenderungan intervensionis Negara, Reflective forces: kekuatan kritis reflektif yang mencegah atau mengurangi konflik internal sebagai akibat formasi sosial baru.[3] Penyakit dan kecurangan yang dialami tubuh birokrasi selama orde baru hingga reformasi dapat diminimalisir dengan peran aktif dari civil society yaitu pers, LSM, organisasi profesi, ormas, dan sebagainya. Birokrasi ideal atau maupun good governance memiliki salah satu ciri yaitu netralitas dalam wilayah politik, namun pada era Orde Baru tidak demikian. Birokrasi berpihak pada salah satu kontestan Pemilu, yaitu Golkar.
Akan tetapi ketika birokrasi berpolitik atau dikooptasi dan dijadikan instrumen kekuasaan bagi para politisi, perannya akan tereduksi hanya untuk kepentingan jangka pendek dan sekelompok orang saja. Dalam hal calon kepala daerah adalah mereka yang selama ini masih menduduki jabatan (incumbent), peluang untuk mengintervensi birokrasi dan menggunakannya sebagai sarana untuk menggalang dukungan menjadi semakin terbuka. Terkait dengan hal ini, paling tidak ada tiga pola yang bisa dilakukan. Pertama, menggunakan sarana dan agenda kerja birokrasi untuk makin mempopulerkan diri dan melakukan kampanye dini secara terselubung, misalnya seorang kepala daerah tiba-tiba menjadi sangat rajin berkunjung ke desa-desa atau menghadiri suatu acara serta perayaan-perayaan keagamaan yang tidak secara langsung berhubungan dengan kegiatan pemerintahan dan kedinasan. Kedua, jalur birokrasi digunakan untuk memberikan dukungan melalui aktor-aktor birokrasi di tingkat lokal. Penetrasi birokrasi dengan pola ini juga terlihat pada dukungan bupati, camat, sampai kepala desa untuk memenangkan calon tertentu melalui kegiatan deklarasi untuk memenangkan calon tertentu. Sedangkan ketiga, membuat kebijakan yang menguntungkan kekuatan politik atau calon kepala daerah tertentu.
[1] M.blow peter,birokrasi dalam msyarat modern,perbit universitas Indonesia(UI-Pres) Jakarta.1987.hal.110-111
[2] Eep Saefullah, Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru, (Jakarta;Pustaka Pelajar, 1998),hlm 191
[3] Disampaikan dalam perkuliahan Antropologi Politik (Civil Society and Civic Culture) 2008 oleh AHMAD TAUFIQ A. RAHMAN, M.Si