Jumat, 05 April 2013

Selasa, 14 Agustus 2012

Bicara Saja

Bicara adalah kebutuhan, bicara adalah wujud apresiasi pada eksistensi diri maupun wujud penghormatan sekaligus kritikan terhadap lawan bicara atau sesuatu hal. Sebagai warga negara penganut sistem yang dikatakan demokrasi (di satu sisi mengatakan masih dalam tataran demokrasi prosedural, sisi lain berbicara demokrasi yang mapan, sisi berseberangan mengatakan demokrasi yang "kebablasan") rasa rasanya sah saja apabila kita bicara tentang apapun, hanya saja dalam rambu norma ketimuran. Namun, hari ini di mana saja dapat kita lihat sekaligus dipertanyakan norma ketimuran yang mana? dan demokrasi seperti apa yang seharusnya kita teguk kebaikannya. Apa masih berlaku adat ketimuran kita apabila serangan media bertubi - tubi merangsek menyerbu generasi muda? batasan Agama dan Pancasila seringkali dianggap hanya sebuah "sejarah" yang tertulis dalam buku, terbaca sih....namun tanpa praktek nyata. Coba saja tanya tetangga kita hafal tidak 5 butir Pancasila sekaligus lambangnya?. Kembali lagi mengenai kebebasan berbicara, susah memang membatasi kebebasan berbicara, jangankan membatasi demonstrasi mendemo presiden saja bisa, apalagi cuma bicara tidak jelas kesana kemari, BEBAS se BEBASnya....hanya saja perlu dipikir ulang bagi yang ingin berpikir sebelum bicara mengenai apapun karena "akeh tunggale" (baca :banyak orang) mampu mengkritik, tapi tidak banyak orang bisa melakukan perubahan maupun perbaikan. berikut ini mungkin bisa dikaji dan menjadi bahan renungan.
Perlu dan penting kah yang akan anda ucapkan? segala sesuatu yang meluncur dari mulut bisa jadi anugerah, tapi juga bisa jadi bumerang di hari lain, seperti ungkapan mulutmu harimau mu!! singkat sih, tapi mengena dan mengingatkan kita untuk menjaga perkataan. Apabila yang anda katakan hanya untuk kesenangan pribadi, mengejek, mengolok, membicarakan keburukan orang, dimana letak pentingnya? perlu mungkin dari view anda pribadi karena biasanya orang yang kelewat hobi bicara akan "pinter ngomong" bukan "ngomong pinter" seakan anda ini paling benar sejagad dan biasanya disertai bumbu "ngeyel" dengan seabreg alasan yang lagi - lagi pribadi. Lain cerita apabila perkataan kita mengandung manfaat untuk orang lain, misalnya informasi kemacetan di jalan xxx supaya pengendara menghindari jalan itu. Jadi, pikir - pikir dulu lah sebelum bicara. Sebuah ungkapan kuno tapi di berbagai situasi bisa digunakan "diam adalah emas", ada waktu tertentu memang lebih baik kita diam daripada yang kita katakan menyakiti/menyinggung orang lain (bukan berarti berbohong itu lebih baik daripada kejujuran), jika tidak bermanfaat untuk umum buat apa bicara hal tidak penting. Penting juga sebagai catatan, mengemukakan ide maupun pendapat itu hal penting, dan dalam case satu ini, bicara itu sebuah keharusan karena disitulah letak eksistensi diri manusia, pengakuan ide dan kreatifitas perlu diutarakan.


Selasa, 02 November 2010

Program Studi Politik Islam

Politik Islam adalah satu program studi yang ada di Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Program ini berjalan mulai tahun 2005, setiap tahun terdapat peningkatan jumlah peminat hingga terbagi menjadi 2 kelas. Lulusan program studi ini akan memiliki gelar studi S.Sos. Mayoritas orang mempertanyakan apakah politik Islam itu? lantas apa yang dipelajari di bangku perkuliahan?
saya sendiri mahasiswa Politik Islam (PI) angkatan ke-2,  jangan salah sangka dulu jika beranggapan kuliah di IAIN itu kuliah tentang agama melulu, saya akan bilang tidak benar karena kita juga akan belajar realita sekitar kita. bagi saya Politik Islam mengajari realita sosial, dibantu dengan dosen yang masih muda, enerjik, berpengalaman dan ada yang praktisi politik akan mempermudah proses belajar. Tambahan informasi, bagi lulusan SMA Negeri bisa mendaftar juga.
yang ingin mengetahui program studi Politik Islam bisa melihat dan membaca langsung melalui link di bawah.  Semoga bermanfaat...

http://ush.sunan-ampel.ac.id/?page_id=43

Sabtu, 20 Februari 2010

simbiose agama dan politik

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Agama
Agama, secara esensial, merupakan fitrah yang dicipta Tuhan kepada setiap manusia. Dalam bahasa Sansekerta Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "tradisi". Dalam bahasa Sansekerta artinya tidak bergerak (Arthut Mac Donnell). Agama kata bahasa Sansekerta (yaitu bahasa agama Brahma pertama yang berkitab Veda) ialah peraturan menurut konsep Veda (Dr. Muhammad Ghalib).
      Dalam bahasa Latin Agama adalah hubungan antara manusia dengan manusia super (Servius) Agama adalah pengakuan dan pemuliaan kepada Tuhan (J. Kramers Jz). Dalam bahasa Eropa Agama merupakan sesuatu yang tidak dapat dicapai hanya dengan tenaga, akal dan pendidikan saja (Mc. Muller dan Herbert Spencer). Agama adalah kepercayaan kepada adanya kekuasan mengatur yang bersifat luar biasa, yang pencipta dan pengendali dunia, serta yang telah memberikan kodrat ruhani kepada manusia yang berkelanjutan sampai sesudah manusia mati (A.S. Hornby, E.V Gatenby dan Wakefield).
      Dalam bahasa Indonesia Agama adalah hubungan manusia dengan Yang Maha Suci yang dinyatakan dalam bentuk suci pula dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu (Drs. Sidi Gazalba). Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.[1]
Dalam bahasa Arab, agama ialah din, yang artinya : taat, takut dan setia, paksaan, tekanan, penghambaan, perendahan diri, pemerintahan, kekuasaan, siasat, balasa, adat, pengalaman hidup, perhitungan amal, hujan yang tidak tetap turunnya, dan lain lain. Sinonim kata din dalam bahasa arab ialah milah. Bedanya, milah lebih memberikan titik berat pada ketetapan, aturan, hukum, tata tertib, atau doktrin dari din itu.
      Secara variabel, agama terdiri dari aturan, norma, kepercayaan, wahyu, yang mengikat manusia dalam usaha mencapai keteraturan, kebahagiaan, dimana manusia merasa tenang karenanya.
      Sejarah telah mengungkap bahwa manusia tidak lepas dari keberadaan agama, walaupun agama dalam konteks ini hanya sekedar kepercayaan yang sederhana sekalipun. Dalam hal ini tidak dipungkiri bahwa tujuan dari keberadaan agama adalah mengatur kehidupan baik secara individu maupun sosial dan juga hubungan dengan Sang Pencipta (Dewa, atau yang di Tuhankan). Keberadaan agama tidak lepas pula dari unsur gaib, sebuah kepercayaan yang menghubungkan antara manusia dengan penguasa dimana penguasa memegang kendali secara mutlak. Manusia sebagai hamba yang harus mengabdi kepada Pencipta, apabila hal ini tidak terjadi maka akan berakibat datangnya musibah, bencana yang merugikan.
      Bagi orang yang beragama, agama merupakan bagian dari hidupnya ibarat ruh yang sangat menentukan arah hidupnya. Di dalamnya terdapat perintah dan larangan juga motivasi yang menjadi kebutuhan hidup. Dari sini dapat diambil pengertian bahwa agama merupakan kebutuhan bukan menjadi beban. Sebab, banyak orang berkorban sampai mempertaruhkan nyawanya demi agama. Jadi, agama secara esensial, merupakan fitrah yang dicipta Tuhan kepada setiap manusia.

B. Definisi Politik
Politik seperti halnya teori-teori sosial adalah hasil karya manusia, lahir dari ide-ide brilian manusia. Bagi Aristoteles, politik berarti mengatur apa yang seyogyanya kita lakukan dan apa yang seyogyanya tidak kita lakukan.[2] Hal ini menekankan pada suatu cara yang biasanya kita sebut dengan cara memperoleh, menggunakan, dan mempertahankan suatu kekuasaan. Tujuan dari politik dibagi menjadi dua yaitu tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Tujuan jangka panjang dari politik adalah kemaslahatan masyarakat, politik digunakan sebagai sebuah strategi dalam mensejahterakan masyarakat, sedangkan tujuan jangka pendek adalah kekuasaan atau perebutan kekuasaan dengan cara praktis.




B.     Simbiose Agama dan Politik
Agama dan politik terkait secara simbiotik, baik kekhalifahan ataupun masyarakat ideal menyimbolkan simbiosis antara agama dan politik, atau dengan kata lain keduanya berhubungan dan merupakan rezim-rezim politik, namun dengan cita-cita agama.
Pemecahan yang ditawarkan oleh para pemikir politik Islam pra-modern atas masalah hubungan agama dan politik juga dapat dilihat sebagai upaya untuk memahami prinsip tawhid (kemenyatuan).[3] Di sinilah agama dengan mudah akan bermetamorfosa menjadi kekuatan politik. Agama dan politik mempunyai karakteristik serupa, yaitu memberi peluang sebesar-besarnya kepada penarikan simpati pemeluk, pengikut, dan pemilih. Pada titik ini, agama dengan politik memiliki kesamaan basis, yang memungkinkan terjadi simbiose mutualistis.
Faktor kemapanan sistem politik turut mempengaruhi hubungan agama dan politik. Kecenderungan pelibatan agama dengan politik relatif berjarak, artinya pemahaman pemilih (voters) terhadap kecenderungan elit politik membawa simbol dan doktrin agama dapat dibaca sehingga kemungkinan intervensi agama dalam wilayah politik atau sebaliknya dapat dijaga. Berbeda dengan kasus-kasus relasi agama dan politik pada negara-negara berkembang di mana sistem politiknya masih rapuh. Relasi agama-politik berkolaborasi sedemikian rupa kadang saling menajamkan perseteruan kadang saling memanjakan.
Dalam perspektif agama, tidak ada agama apa pun di bumi yang dapat menghindarkan diri dari isu atau menjaga jarak dari keterlibatan dalam ranah politik. Agama menemukan perwujudan nyata dalam mengayomi kepentingan bersama manusia, sebagai payung moral penegakan kebebasan manusia. Sebenarnya pada concern kepentingan umum, maslahat al-'ammah, agama dan politik tidak bisa berpisah satu sama lain. Tetapi bila agama atau agamawan hanya dijadikan peneguhan identitas dan alat mencari suara, keduanya akan menjadi aral yang melintang jalur demokrasi.[4]Agama akan mengembalikan politik ke dimensi kemanusiaannya, sebuah aktivitas politik yang memberikan penghargaan pada harkat dan martabat kemanusiaan. Karena kekuasaan politik dalam perspektif agama bersumber dari Allah. Kekuatan spiritual dari agama akan mengoreksi politik yang diselewengkan karena kepentingan diri dan kelompok ke politik yang diabdikan pada kesejahteraan dan kebaikan umum.[5]
Karena itu, agama dan politik harus menjadikan Indonesia sebagai ranah (tempat)-field dalam istilah Pierre Bourdieu-hidup bersama (share of life) untuk memproduksi kepentingan bersama. Agama dan politik harus dilepaskan dari trilogi teleologi (tujuan) statisnya, yakni kekuasaan, kepentingan jangka pendek dan kepentingan kelompok, diganti tujuan baru, yakni komitmen pada kepentingan bersama. Harus diakui kecenderungan melibatkan agama dalam ranah politik amat berisiko, karena dengan demikian kita memprihatinkan proses transisi menuju demokrasi terancam deadlock. Elit politik menjadikan agama sebagai alat melampiaskan ambisi kuasa. Sementara agamawan tanpa sadar keluar dari fungsi figuritasnya sebagai penjaga moral masyarakat dan memberi penyadaran publik (public awareness). Kondisi bangsa menuntut kaum agamawan untuk balik ke habitat sebagai "guru" sekaligus "oposan" bagi elit politik agar tetap mempertimbangkan etika dan moralitas dalam berpolitik.

D. Peran Agama dan Politik di Indonesia
            Wacana mengenai relasi antara Agama dan politik sering didengar di manapun dan kapanpun. Media cetak, elektronik, hingga pembahasan tersebut menjadi bahasan yang bisa dikaji lebih lanjut. Relasi keduanya bisa menyebabkan penggabungan atau bahkan sekulerisasi. Indonesia misalnya, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim memiliki keunikan tersendiri mengenai relasi agama dan politik. Bidikan pertama adalah partai politik dengan platform agama sudah ditemui di Indonesia jauh hari, bahkan saat ini hal tersebut marak terjadi menjelang pesta demokrasi lima tahunan yang dalam waktu dekat akan dilaksanakan. Agama dan politik di Indonesia bukan hal terpisah lagi satu sama lain. Agama dijadikan sebagai ideologi, landasan berpikir dan berjuang dalam menjalankan visi dan misi yang dimiliki sebuah partai. Sebab, ideologi bukanlah hiasan, melainkan ia menjalankan fungsi asasi dalam membentuk dan mengatur komunitas sosial.[6] Agama merupakan sebuah “partner” dalam berpolitik. Lebih kecil lagi dicontohkan adalah agama Islam di Indonesia. Ada dua kelompok organisasi sosial masyarakat, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang pada akhirnya memiliki wakil mereka dalam wilayah politik. PAN dan PKB sebagai representasi mayoritas dari Muhammadiyah dan NU, meskipun belakangan terjadi perpecahan dalam partai yang mengakibatkan terbentuknya partai “tandingan” bagi partai sebelumnya.
Yang perlu menjadi bahan pembahasan disini yaitu simbiose antara agama dan politik hidup di sekitar masyarakat, sadar atau tidak hal itu ada, namun tak berlaku sama di negara lain yang juga memiliki keunikan tersendiri mengenai relasi agama dan politik. Di sisi lain, agama sebagai suatu dasar pembentukan moral bagi terbentuknya sikap generasi muda yang diharapkan memimpin negara Indonesia suatu hari nanti. Alasan klasik yang sering didengar, namun ternyata hal ini penting. Bagaimanapun realita tak seindah ide atau teori (das sollen – das sein). Agama sering dijadikan klaim atau pembenaran atas perilaku politik tertentu atau bahkan perilaku menyimpang dari elit politik. Tidak hanya elit politik, tapi juga lembaga yang menaungi kepentingan umat Muslim di Indonesia. Dengan fatwa-fatwa yang dikeluarkan meskipun dirasa tidak relevan apabila lembaga ini yang memutuskan suatu perkara umum yang tidak hanya berkaitan dengan masyarakat Muslim mengenai fatwa golput maupun merokok. Hal lain yang terjadi adalah pemanfaatan agama sebagai klaim kampanye demi kepentingan mendulang suara di daerah tertentu. Hal itu hanya sedikit contoh distorsi agama dan politik yang syarat kepentingan di dalamnya. Islam pun pada masa Nabi Muhammad mengalami hal seperti itu.[7]






BAB III

KESIMPULAN


         Agama adalah unsur yang mengatur pengakuan dan pemuliaan kepada Tuhan. Agama merupakan sesuatu yang ada dalam diri seseorang, keyakinan atas sesuatau yang lebih berkuasa atasnya. Agama tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, tapi juga mengatur sinergitas antara manusia dan manusia serta manusia dan alam semesta
         Politik adalah suatu strategi, strategi yang berhubungan dengan kekuasaan. Berpolitik berarti memiliki dua tujuan, yaitu tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang dari politik adalah kebaikan dalam memberikan kemaslahatan untuk umat, sedangkan tujuan jangka pendek lebih berorientasi pada kepentingan sesaat yaitu perebutan kekuasaan.
         Agama dan politik merupakan pembahasan yang layak untuk diperbincangkan maupun diperdebatkan. Relasi keduanya, simbiosis, integrasi, sekuler dapat diperdebatkan secara ilmiah. Agama dan politik di beberapa Negara dapat menjadi terpisah sama sekali atau di Negara Indonesia misalnya, hubungan keduanya terjalin unik dengan ciri-ciri tertentu. Partai politik yang menjadikan agama sebagai landasan dalam melakukan kegiatan perpolitikan merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri. Penyimpangan agama atas nama politik atau sebaliknya juga terjadi sebagai gambaran realita tak selalu sejalan dengan ide. Agama dijadikan sebagai pelengkap sekaligus kritik terhadap politik karena agama adalah hasil karya Tuhan, sedangkan politik adalah hasil dari pemikiran manusia yang memiliki banyak kekurangan. Islam sebagai agama memiliki sejarah panjang mengenai agama dan politik yang menyatu di bawah satu kepemimpinan.
         Agama dan politik memainkan peranan penting di Indonesia. hubungan keduanya di Indonesia dapat dikatakan sekuler non-ekstrim atau simbiose. Keduanya memiliki wilayah sendiri, namun tidak dapat dipisahkan satu sama lain.



Daftar Pustaka

Ali Fachry, (1996). Golongan Agama dan Etika Kekuasaan, Risalah Gusti: Jakarta.
Amin Samir, (2005). Dialog Agama dan Negara, terjemahan dari Al-Khiwar bain ad-Daulah wa ad-Din, Yogyakarta: LKiS.
Effendy Bahtiar, (2009). Islam Dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997)
Noer Deliar, (2003). Islam dan Politik, Yayasan Risalah: Jakarta.
Surbakti Ramlan, (1992). Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo.
Dian, Agama akan tetap menjadi kekuatan moral politik, Flores Pos (15 Desember 2007)


[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997
[2] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 1992), 1
[3] Bahtiar Effendy, Islam Dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2009), 113
[4]http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=4490&coid=3&caid=31&gid=2
[5] Dian, “Agama akan tetap menjadi kekuatan moral politik,”Flores Pos (15 Desember 2007)
[6]  Samir Amin dan Burhan Ghalyun, Dialog Agama dan Negara, terjemahan dari Al-Khiwar bain ad-Daulah wa ad-Din (Yogyakarta: LKiS, 2005), 44
[7] Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah --jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern-- tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak. Dr. Dhiauddun Rais, “Teori Politik Islam,” diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al Kattani, ISNET Homepage

Minggu, 23 Agustus 2009

Indonesia dan Malaysia..lagi????

Bingung juga memikirkan apa maksud negara Malaysia mengklaim kesenian asli Bali, yaitu tari Pendet sebagai milik mereka. tari ini dimasukkan dalam Visit Malaysia 2009 sehingga masyarakat Indonesia pun terheran melihat ulah Malaysia lagi. Sengketa Ambalat belum benar-benar selesai, masalah klaim reog ponorogo juga begitu belum jelas penyelesaian ditambah klaim baru menyangkut kesenian asli Bali.
Indonesia benar-benar kaya, namun sayang pematenan (baca : hak paten) untuk kesenian asli Indonesia yang beragam belum dapat dilakukan. Beribu pulau ada di Indonesia, singkat kata semua ada di sini, gemah ripah loh jinawi...
nah lho...bagaimana aksi pemerintah dalam menanggapi hal ini terutama Presiden terpilih baru saja melakukan pidato. apakah perlu hak paten kesenian dimasukkan dalam perda atau bahkan undang-undang...will see...

Senin, 11 Mei 2009

Dia laki-laki

Laki-laki........hm....salah satu jenis kelamin...jelas...tapi dia laki-laki asing yang tanpa terduga muncul dalam hidupku. dia membuatku tersenyum, mengembalikan harapan yang pernah hilang, membuatku bersemangat menghadapi hidup...........dia membuatku mencintainya dalam waktu sekejap saja...hanya dalam dua kali tatap muka dan dia menginginkanku menemani hidupnya. takdir...aku bermain dalam garis takdir...bermain dalam garis pelanggaran aturan sekaligus menabrak arus, terjungkir balik terseret arus kemudian aku menyadari diriku terhempas tanpa kesadaran...........dia bilang apapun aku, siapapun aku, apapun masa laluku, perasaannya tidak akan berubah...
tidak ada yang kekal, bahkan perasaan manusia, satu jam yang lalu bilang cinta, semenit kemudian berkata kasar, mencaci bahkan meninggalkan luka. aku berdoa itu bukan dia, tidak pernah ada dalam benaknya. dia segalanya...segalanya yang diberikan Tuhan untukku, memberiku kesempatan untuk bahagia dan aku berdoa kebahagiaan ini tidak akan direnggut lagi dariku.
wow..........amazing words

Relasi antara Birokrasi dengan Elemen

A. Birokrasi Ideal

Birokrasi berasal dari bahasa Prancis bureau, berarti kantor. Konsep birokrasi mengaplikasikan prinsip-prinsip sistem keorganisasian yang dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi dan administrasi dalam sekup organisasi yang lebih besar dalam tatanan pemerintahan,Biasanya masalah administrasi yang kompleks serta ruwet terdapat dalam organisasi berskala besar, sebagai struktur organisasi diartikan sebagai bagian-bagian organisasi yang bukan karakteristis dari para anggotanya. Terutama bagian-bagian distribusi kedudukan social dalam organisasi . begitu pula dengan hirarki wewenang dalam sebuah organisasi , ini pun tidak mencerminkan cirri-ciri perorangan. Seseorang mempunyai jabatan dan pangkat dalam suatu hirarki akan tetap hanya pola hubungan di antara pekerjaan atau pangkat yang menyebabkan adanya pembagian kerja atau hirarki wewenang. Aturan-aturan dan peraturan-peraturan birokrasi bukan bagian dari status struktur, tetapi merupakan bagian dari organisasi, Menurut Weber ;birokrasi dan institusi lainnya dapat dilihat sebagai kehidupan kerja yang rutin (of workday life).[1]

Peranan birokrasi secara umum dikemukakan oleh Michalen G.Roskin dan kawan-kawan mempunyai fungsi yang meliputi kegiatan-kegiatan pengadminisrasian, pelayanan, peraturan, perizinan, pengumpulan, informasi, dan urusan rumah tangga. Seluruh birokrat pemerintah dan elemen politik menjalankan setidaknya menjalankan dari dua fungsi dasar tersebut, dengan sebagian bekerja secara khusus pada biro tertentu, dan sebagian lagi menjalankan fungsi ganda, sehingga memungkinkan untuk mempekerjakan ahli yang terspesialisasikan di tiap posisi dan menyebabkan tiap unsur sistem/orang bertanggung jawab terhadap kinerja yang efektif atas tugas-tugasnya. Organisasi yang hierarkis, berarti organisasi kantor mengikuti prinsip hierarki sehingga tiap unit yang lebih rendah berada dalam pengendalian serta pengawasan organisasi yang lebih tinggi. Ada sistem aturan, operasi dilaksanakan berdasarkan sistem aturan yang ditaati secara konsisten. Kemudian, impersonality. Idealnya pegawai bekerja dengan semangat kerja tinggi, tanpa rasa benci terhadap pekerjaannya atau terlalu berambisi. Ada struktur karier, terdapat suatu sistem promosi yang didasarkan pada senioritas atau prestasi, atau kedua-duanya. Karyawan dalam bentuk organisasi birokratik didasarkan pada kualifikasi teknik dan dilindungi dari penolakan sepihak. Kebijakan presonal seperti itu mendorong tumbuhnya loyalitas terhadap organisasi maupun semangat dalam kelompok di antara anggota organisasi. Terakhir, efisiensi.

B. Sistem Politik

Menurut David Easton, sistem politik adalah bagian dari sistem sosial yang menjalankan:

1. alokasi nilai-nilai (dalam bentuk keputusan dan kebijakan)

2. yang bersifat otoritatif (dikuatkan oleh kekuasaan yang sah)

3. mengikat seluruh masyarakat (dalam masyarakat modern, otoritas atau kekuasaan yang sah dan memiliki wewenang yang sah untuk menggunakan kekuatan koersif adalah negara).

Sistem politik yang dianut Indonesia adalah Demokrasi Presidensial/terpimpin dengan karakternya tersendiri. Siapa presiden yang memerintah maupun kebijakan yang dibuat serta varian lain turut berpengaruh terhadap eksistensi birokrasi di dalamnya. Mengutip Afan Gaffar (1999) mengemukakan kondisi-kondisi dasar suatu sistem politik disebut demokratis apabila:

1. adanya akuntabilitas pemegang kekuasaan (kekuasaan dapat dikontrol)

2. adanya rotasi kekuasaan

3. rekrutmen politik yang terbuka

4. pemilihan umum yang teratur dan fair

5. adanya jaminan pemenuhan hak-hak dasar warga negara (hak menyatakan pendapat, hak berkumpul dan berserikat, hak menikmati pers yang bebas)

C. Perjalanan birokrasi dari waktu ke waktu

Sejak awal kemerdekaan hingga saat ini birokrasi mengalami banyak perubahan sesuai pemerintahan yang berjalan. Masa awal kemerdekaan biasa disebut dengan orde lama yang dipimpin Soekarno, masa ini lebih banyak mengarah pada ”executive heavy” (UU No.5/74) disusul dengan adanya supersemar yang akhirnya ditandai dengan bergantinya presiden sekaligus menjadi masa Orde Baru yang dipimpin Soeharto selama 32 tahun yang terdapat ”legislative heavy” (UU No.22/99). Hingga berakhirnya rezim Soeharto pada 1998 sebagai penanda dimulainya babak baru perjalanan birokrasi dalam era reformasi.

Pembangunan yang bercorak birokratik teknokratik adalah model yang dipilih oleh orde baru.[2] Dalam era ini birokrasi dimanfaatkan untuk menjalankan pembangunan, hal yang menjadi penting pada era ini adalah bagaimana keahlian praktis untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi secara cepat. Terdapat tiga bentuk kebijakan birokratisasi untuk menggambarkan periodesasi pemerintahan di Indonesia dengan varian tertantu, yaitu :

1. Weberisasi birokratisasi bisa dikatakan sebagai birokrasi ala Weberian yang merupakan penggagas birokrasi modern. Bentuk ini menitikberatkan pada penunjukan kebijakan untuk memfungsikan birokrasi yang memenuhi kriteria birokrasi ideal, yaitu efisien, rasional, profesional, dan orientasi public service.

2. Parkinsonisasi birokratisasi dengan komponen utamanya memperbesar kuantitatif birokrasi untuk meningkatkan kapabilitas sebagai alat pembangunan. Hal tersebut dilakukan untuk mengatasi persoalan pembangunan yang menumpuk – pengangguran.

3. Orwellisasi birokratisasi yaitu mengefektifkan birokrasi sebagai alat perpanjangan tangan negara dalam menjalankan kontrol birokratis terhadap masyarakat.

Pengkhususan untuk kasus yang ada di Indonesia adalah Jacksonisasi birokatisasi yaitu upaya menjadikan birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan negara dan menyingkirkan masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan sehingga terbentuk apa yang disebut oleh Karl D Jackson (1980) sebagai bureaucratic policy.

D. Birokrasi dan Infrastruktur Politik

Dalam beberapa waktu birokrasi menjadi suatu kekuatan penggerak pembangunan dalam Orde Baru, sehingga birokrasi taklebihnya sebagai ”suruhan”pemerintah untuk mengesahkan kepentingan pemerintah saat itu. Sehingga birokrasi memiliki citra lamban, bertele-tele, in-efisien, kurang profesional, dan menyisihkan kepentingan masyarakat. Image yang melekat inilah yang sampai hari ini dirasakan masyarakat. Pemerintah (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif) sebagai lembaga yang memiliki otoritas politik tidak mampu menghilangkan asumsi tersebut. Malahan dalam beberapa kasus keduanya (pemerintah dan birokrasi terlibat dalam beberapa kasus penyalahgunaan wewenang). Kebijakan desentralisasi pun tidak mengurangi anggapan lambannya kerja birokrasi, malahan penggelembungan semakin meningkat, hal ini dilakukan untuk mengatasi salah satu masalah di Indonesia, yaitu pengangguran. Bahkan korupsi yang awalnya marak di tingkat pusat malah menjadi seiring berjalannya kebijakan desentralisasi.

E. Birokrasi dan Suprastruktur Politik

Salah satu ciri dari negara yang menggunakan sistem demokrasi adalah berfungsinya civil society di dalamnya. Fungsi dari civil society adalah sebagai pertama sebagai Balancing forces: kekuatan pengimbang dari kecenderungan intervensionis Negara, Reflective forces: kekuatan kritis reflektif yang mencegah atau mengurangi konflik internal sebagai akibat formasi sosial baru.[3] Penyakit dan kecurangan yang dialami tubuh birokrasi selama orde baru hingga reformasi dapat diminimalisir dengan peran aktif dari civil society yaitu pers, LSM, organisasi profesi, ormas, dan sebagainya. Birokrasi ideal atau maupun good governance memiliki salah satu ciri yaitu netralitas dalam wilayah politik, namun pada era Orde Baru tidak demikian. Birokrasi berpihak pada salah satu kontestan Pemilu, yaitu Golkar.

Akan tetapi ketika birokrasi berpolitik atau dikooptasi dan dijadikan instrumen kekuasaan bagi para politisi, perannya akan tereduksi hanya untuk kepentingan jangka pendek dan sekelompok orang saja. Dalam hal calon kepala daerah adalah mereka yang selama ini masih menduduki jabatan (incumbent), peluang untuk mengintervensi birokrasi dan menggunakannya sebagai sarana untuk menggalang dukungan menjadi semakin terbuka. Terkait dengan hal ini, paling tidak ada tiga pola yang bisa dilakukan. Pertama, menggunakan sarana dan agenda kerja birokrasi untuk makin mempopulerkan diri dan melakukan kampanye dini secara terselubung, misalnya seorang kepala daerah tiba-tiba menjadi sangat rajin berkunjung ke desa-desa atau menghadiri suatu acara serta perayaan-perayaan keagamaan yang tidak secara langsung berhubungan dengan kegiatan pemerintahan dan kedinasan. Kedua, jalur birokrasi digunakan untuk memberikan dukungan melalui aktor-aktor birokrasi di tingkat lokal. Penetrasi birokrasi dengan pola ini juga terlihat pada dukungan bupati, camat, sampai kepala desa untuk memenangkan calon tertentu melalui kegiatan deklarasi untuk memenangkan calon tertentu. Sedangkan ketiga, membuat kebijakan yang menguntungkan kekuatan politik atau calon kepala daerah tertentu.



[1] M.blow peter,birokrasi dalam msyarat modern,perbit universitas Indonesia(UI-Pres) Jakarta.1987.hal.110-111

[2] Eep Saefullah, Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru, (Jakarta;Pustaka Pelajar, 1998),hlm 191

[3] Disampaikan dalam perkuliahan Antropologi Politik (Civil Society and Civic Culture) 2008 oleh AHMAD TAUFIQ A. RAHMAN, M.Si